II. LANDASAN HUKUM PERBANKAN
SYARIAH
Sejarah perbankan syariah di Indonesia, melalui beberapa tahan periode yaitu:
1. PERIODE SEBELUM TAHUN 1992
Sebelum tahun 1992 di Indonesia telah berdiri bank syariah dalam bentuk BPR Syariah yaitu : BPRS Mardhatillah, BPRS Berkah Amal Sejahtera, Al-Mukaromah dimana sebagai pendiri adalah alumni ITB atau Masjid Salman (Masjid dalam lingkungan kampus ITB, Bandung). Pada periode ini BPRS didirikan sesuai dengan perundang-undang perbankan yang berlaku saat itu (bank konvensional), dan tidak ada ketentuan yang mengatur tentang bank syariah disamping masyarakat yang belum memungkinkan untuk diajak bertransaksi syariah, sehingga BPR-Syariah tersebut mati secara pelan-pelan.
2. PERIODE TAHUN 1992 – 1998
Dalam periode ini lahir puluhan BPR Syariah dan satu Bank Umum Syariah, yaitu Bank Muamalat Indonesia. Dijelaskan pada Undang-undang nomor 7 tahun 1992 mengenai bank syariah yaitu mengatur tentang usaha bank syariah sebagai berikut :
Usaha Bank Umum : “Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkanv prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (pasal 6 huruf m).”
Usaha Bank Pengkreditan Rakyat : “Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (pasal 13 huruf c).”
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan tersebut pemerintah mengeluarkan dua ketentuan perbankan syariah yaitu :
a) Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Bagi Hasil. Sehingga undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang Peraturan Pemerintah tersebut sebagai landasan hukum berdirinya Bank Umum Syariah.
b) Peraturan Pemerintah nomor 73 tahun 1992 tentang Bank Pengkreditan Rakyat Berdasarkan Bagi Hasil. Sehingga undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan dan Peraturan Pemerintah tersebut sebagai landasan hukum berdirinya Bank Pengkreditan Rakyat dalam periode ini.
Sejarah perbankan syariah di Indonesia, melalui beberapa tahan periode yaitu:
1. PERIODE SEBELUM TAHUN 1992
Sebelum tahun 1992 di Indonesia telah berdiri bank syariah dalam bentuk BPR Syariah yaitu : BPRS Mardhatillah, BPRS Berkah Amal Sejahtera, Al-Mukaromah dimana sebagai pendiri adalah alumni ITB atau Masjid Salman (Masjid dalam lingkungan kampus ITB, Bandung). Pada periode ini BPRS didirikan sesuai dengan perundang-undang perbankan yang berlaku saat itu (bank konvensional), dan tidak ada ketentuan yang mengatur tentang bank syariah disamping masyarakat yang belum memungkinkan untuk diajak bertransaksi syariah, sehingga BPR-Syariah tersebut mati secara pelan-pelan.
2. PERIODE TAHUN 1992 – 1998
Dalam periode ini lahir puluhan BPR Syariah dan satu Bank Umum Syariah, yaitu Bank Muamalat Indonesia. Dijelaskan pada Undang-undang nomor 7 tahun 1992 mengenai bank syariah yaitu mengatur tentang usaha bank syariah sebagai berikut :
Usaha Bank Umum : “Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkanv prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (pasal 6 huruf m).”
Usaha Bank Pengkreditan Rakyat : “Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (pasal 13 huruf c).”
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan tersebut pemerintah mengeluarkan dua ketentuan perbankan syariah yaitu :
a) Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Bagi Hasil. Sehingga undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang Peraturan Pemerintah tersebut sebagai landasan hukum berdirinya Bank Umum Syariah.
b) Peraturan Pemerintah nomor 73 tahun 1992 tentang Bank Pengkreditan Rakyat Berdasarkan Bagi Hasil. Sehingga undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan dan Peraturan Pemerintah tersebut sebagai landasan hukum berdirinya Bank Pengkreditan Rakyat dalam periode ini.
3. PERIODE TAHUN 1998 – 2008
Dalam Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tersebut telah dibahas ketentuan-ketentuan bank syariah misalnya :
a) Dalam pasal 1 angka 13 disebutkan “prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan usaha lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musbarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina)
b) Pasal 6 huruf m ” menyediakan pembiayaan dan/atau melakukan kegiatanlain berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia “.
Dalam penjelasan pasal ini disebutkan “ pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia memuat antara lain :
1) Kegiatan usaha dan produk-produk bank berdasarkan prinsip syariah
2) Pembentukan dan tugas Dewan Pengawas Syariah
3) Persyaratan baik pembukaan kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
c) Masih banyak pasal lain yang mengatur tentang perbankan syariah oleh karena dalam undang-undang nomor 10 tahun 1998 telah dibahas bank syariah, pemerintah mencabut dua peraturan pemerintah tersebut diatas dengan peraturan pemerintah nomor 30 tahun 1998. Sebagai peraturan pelaksanaannya Bank Indanesia mulai tahun 1999 banyak mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia yang mengatur bank syariah. Ketentuan-ketentuan ini yang merupakan landasan hukum berdirinya Bank Perkreditan Rakyat Syariah dan Bank Umum Syariah seperti Bank Syariah Mandiri, Bank Mega Syariah dan beberapa cabang syariah dari bank konvensional, seperti BRI Syariah, BNI Syariah, BTN Syariah, Bank Jabar Syariah dsb.
4. Periode setelah tahun 2008
Mulai tahun 2008 perbankan syariah di Indonesia memiliki Undang-undang tersendiri, yaitu Undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Undang-undang ini secara lengkap sebagaimana tercantum dalam lampiran buku ini. Bank Syariah yang didirikan dan/atau menjalankan kegiatan usahanya mulai tahun 2008, sudah tentu berdasarkan Undang-undang nomor 21 dan seluruh peraturan pelaksanaannya. Ketentuan-ketentuan yang diatur berdasarkan Undang-undang nomor 10 tahun 1998 dan peraturan pelaksanaannya tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-undang nomor 21 tahun 2008. Hal ini sesuai ketentuan dalam pasal 69 undang-undang tersebut yaitu:
“Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, segala ketentuan mengenai Perbankan Syariah yang diatur dalam Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1992 nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang nomor 10 tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1998 nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 3790) beserta peraturan pelaksanaannya dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini”.
Perbankan
Syariah
I.
Pengertian,
dasar hukum, dan tujuan berdiri
a.
Pengertian
Perbankan syariah adalah segala sesuatu
yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syaria, mencakup
kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan
usahanya.
b.
Dasar
hukum (Dalil Rujukan)
i.
Al-baqarah
ayat 275
275. Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang
yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya.
ii.
Ar-Rum ayat 39
Dan sesuatu riba
(tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba
itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang
kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian)
itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
Dan
lain-lain…
c.
Tujuan
berdiri
Tujuan utama dari pendirian lembaga
keuangan berlandaskan syariah ini adalah
sebagai upaya kaum muslimin untuk mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya
berlandaskan Al-Quran dan As-Sunnah
II.
Perbedaan antara
bank syariah dan konvensional
Parameter
|
Bank
Syariah
|
Bank
Konvensional
|
Landasan
hukum
|
UU Perbankan dan Landasan Syariah
|
UU
Perbankan
|
Return
|
Bagi
hasil, margin pendapatan sewa, komisi/fee
|
Bunga,
komisi/fee
|
Hubungan
dengan nasabah
|
Kemitraan,
Investor-investor, investor-pengusaha
|
Debitur-kreditur
|
Fungsi
dan kegiatan Bank
|
Intermediasi, manager investasi, investor, sosial, jasa
keuangan
|
Intermediasi,
jasa keuangan
|
Prinsip
dasar operasi
|
Anti riba dan anti maysir
|
Tidak
anti riba dan maysir
|
Prioritas
pelayanan
|
1.
Tidakbebas nilai (prinsip syariah Islam)
2.
Uang sebagai alat tukar dan bukan komoditi
3.
Bagi hasil, jual beli, sewa
|
1.
Bebas nilai (prinsip materialis)
2.
Uang sebagai komoditi
3.
Bunga
|
Orientasi
|
Kepentingan
publik
|
Kepentingan
pribadi
|
Bentuk
usaha
|
Tujuan social-ekonomi Islam, keuntungan
|
Keuntungan
|
Evaluasi
nasabah
|
Bank
komersial, bank pembangunan, bank universal, atau multi purpose
|
Bank
komersial
|
Hubungan
nasabah
|
Lebih
hati-hati karena partisipasi dalam risiko
|
Kepastian pengembalian pokok dan bunga
|
Suber
likuiditas jangka pendek
|
Erat
sebagai mitra usaha
|
Terbatas
debitur-kreditur
|
Pinjaman
yang diberikan
|
Terbatas
|
Pasar
uang, bank sentral
|
Prinsip
usaha
|
Komersial dan nonkomersial, berorentasi laba dan
nirlaba
|
Komersial dan nonkomersial, berorientasi laba
|
Pengelolaan
dana
|
Pasiva
ke Aktiva
|
Aktiva
ke Pasiva
|
Lembaga
penyelesaian sengketa
|
Pengadilan,
arbitrase
|
Pengadilan,
Badan Arbitrase Syariah Nasional
|
Risiko
Investasi
|
1.
Dihadapi bersama antara bank dan nasabah dengan
prinsip keadilan dan kejujuran
2.
Tidak mungkin terjadi negative spread
|
1.
Risiko bank tidak terkait langsung dengan debitur,
risiko debitur tidak terkait langsung dengan bank
2.
Kemungkinan terjadi negative spread
|
Monitoring
pembiayaan/Kredit
|
Memungkinkan bank ikut dalam manajemen nasabah
|
Terbatas
pada administrasi
|
Struktur
Organisasi Pengawas
|
Dewan komisaris, Dewan Pengwas Syariah, Dewan Syaraiah
Nasional
|
Dewan
komisaris
|
Criteria
pembiayaan
|
Bankable,
Halal
|
Bankable,
Halal atau haram
|
Sumber:
Veitzal Rifai,
Perbedaan ini meliputi aspek legal,
struktur organisasi, usaha yang dibiayai, dan lingkungan kerja.
a.
Akad
dan Aspek Legalitas
Dalam bank syariah, akad yang dilakukan
memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan
hukum Islam. Setiap akad dalam perbankan syariah, baik dalam hal barang, pelaku
transaksi, maupun ketentuan lainnya, harus memenuhi ketentuan akad, seperti
hal-hal berikut:
1.
Rukun
: Penjual, Pembeli, Barang, Harga, Akad/ Ijab Kabul.
2.
Syarat
: misalnya, barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas barang dan jasa
yang haram menjadi batal demi hukum syariah.
b.
Lembaga
Penyelesai Sengketa
Jika pada perbankan syariah terdapat
perbedaan atau perselisihan antara bank dan nasabahnya, kedua belah pihak
dapat tidak menyelesaikannya di
peradilan, tetapi menyelesaikannya sesuai tata cara dan hukum materi syariah.
(Badan Arbitrase Nasional : Lembaga yang mengatur hukum materi dan atau
berdasarkan prinsip syariah di Indonesia)
c.
Struktur
Organisasi
Bank syariah dapat memiliki struktur yang
sama dengan bank konvensional, misalnya dalam hal komisaris dan direksi, tetapi
unsur yang amat membedakan antara bank syariah dan bank konvensional adalah
keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi operasional
bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah.
d.
Bisnis
dan Usaha yang dibiayai
Dalam perbankan syariah suatu pembiayaan
tidak akan disetujui sebelum dipastikan beberapa hal pokok, diantaranya sebagai
berikut:
1.
Apakah
objek pembiayaan halal atau haram?
2.
Apakah proyek
menimbulkan kemudharatan untuk masyarakat?
3.
Apakah proyek
berkaitan dengan perbuatan mesum/asusila?
4.
Apakah
proyek berkaitan dengan perjudian?
5.
Apakah
usaha itu berkaitan dengan industry senjata yang illegal atau berorientasi pada
pengembangan senjata pembunuh missal?
6.
Apakah
proyek dapat merugikan syiar Islam, baik secara langsung maupun tidak langsung?
e.
Linkungan
kerja dan Corporate Culture
Sebuah bank syariah selayaknya memiliki
lingkungan kerja yang sejalan dengan syariah. Antara lain dalam hal etika (amanah dan shiddiq), cara berpakaian dan tingkah laku, akhlakul karimah dalam menghadapi nasabah maupun rekan kerjanya, skilfull dan professional, mampu
mengerjakan tugas team-work dimana
informasi merata di seluruh fungsional organisasi, selain itu pula dalam hal reward and
punishment diperlukan prinsip keadilan yang sesuai dengan syariah.
III.
Sejarah
lahir dan berkembangnya bank syariah di berbagai Negara
Revivalis Islam, setelah periode panjang
stagnasi, telah menghasilkan beberapa tren pemikiran di dunia islam modern,
diantaranya adalah pemikiran Modernisme dan neo-Revivalisme. Kaum modernis
berusaha untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip moral-spiritual syariah
dan menyerukan upaya-upaya untuk memahami al-qur’an dan sunnah dalam perspektif
prinsip-prinsip yang luas itu. Sementara kaum neo Revivalis, di lain pihak,
memfokuskan pada aplikasi syariah seperti apa adanya, tanpa sedikit pun
reinterpretasi mendasar terhadap semua teks-teks zhahirnya.
Tersebarnya bank-bank ala barat yang
berbasis bunga di Negara-negara yang dikuasai muslim, mengundang para sarjana
muslim untuk berdebat mengenai apakah bunga itu riba atau bukan. Kaum
neo-revivalis bersikukuh bahwa bunga adalah riba, dan mereka sudah menuntut
penghapusannya sejak 1930-an, sementara kaum modernis berpendapat bahwa tidak
semua bentuk bunga adalah riba, hanya bunga yang dinilai tidak adil saja yang
riba. Meskipun suara kaum neo-revivalis tidak cukup mendapatkan pengakuan dari
para pemimpin politik sebelum 1960-an, suaranya memiliki pengaruh terhadap
undang-undang sejumlah Negara muslim, yang menilai bunga sebagai riba. Meskipun
begitu, tak satu pun pemerintah muslim
di zaman modern yang berusaha menghapuskan bunga sebelum 1970-an. Namun,
situasinya berubah sejak 1970-an, disebabkan oleh dua factor: meningkatnya
pengaruh neo-revivalisme dan kekayaan minyak Negara-negara teluk konservatif.
Interpretasi kaum neo-revivalis yang menilai bunga sebagai riba diberi kekuatan
oleh dukungan moral dan material para penguasa teluk dan beberapa orang kaya
dari Negara-negara tersebut”. Jutaan dolar diinvestasikan dalam pendirian
bank-bank islam timur tengah dan wilayah
lainnya. Bersamaan dengan itu, pemerintah islam Pakistan, Iran, dan Sudan mulai
mengeliminir bunga dari sistem keuangan dan perbankan mereka. Bank-bank islam
tumbuh pesat pada tahun 1970-an dan 1980-aan. Pada saat sekarang, bank-bank
islam dalam dalam berbagai bentuknya bermunculan di banyak Negara muslim maupun
non-muslim. Deposito, dana-dana yang disalurkan, serta ekuitas para pemegang
saham di bank-bank tersebut telah meningkat tajam.
Upaya awal penerapan system profit and
loss sharing tercatat di Pakistan dan Malaysia sekitar tahun 1940-an, yaitu
adanya upaya mengelola dana jamaah haji secara nonkonvensional. Rintisan
institusional lainnya adalah Islamic Rural Bank di desa Mit Ghamr pada tahun
1963 di Kairo, Mesir.
Setelah
dua rintisan awal yang cukup sederhana itu, bank Islam tumbuh dengan cukup
pesat. Sesuai dengan analisa Prof. Khursid ahamad dan laporan Internasional
Association of Islamic Bank, hingga akhir 1999 tercatat lebih dari dua ratus
lembaga keuangan Islam yang beroperasi di seluruh dunia, baik di negara-negara
berpenduduk miskin maupun di Eropa, Australia, maupun di Amerika.
Pada sekitar tahun 1970-an, bank yang
dioperasikan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam mulai marak di seluruh
dunia dengan mempergunakan teknologi modern. Dengan konsep Baitul Mal wa Tamwil
yang mengacu kepada ajaran agama Islam dan diterapkan secara istiqomah,
bank-bank syariah ini tumbuh dengan pesat. Di Negara-negara yang bank
syariahnya menerapkan ketentuan-ketentuan syariat Islam secara konsekuen,
sedikit sekali mendapatkan kesulitan dalam operasinya. Sebaliknya, penerapan ketentuan-ketentuan
syariat Islam pada bank yang setengah-setengah, selalu mengalami kesulitan dan
menimbulkan masalah bagi nasabahnya.[1]
Faktor-faktor yang mendorong munculnya bank-bank Islam:
1.
Kecaman kaum
neo-Revivalis terhadap bunga sebagai riba.
2.
Kekayaan
minyak Negara-negara Teluk konservatif.
3.
Pengadopsian
interpretasi tradisional riba oleh sejumlah Negara-negara muslim pada tingakat
pembuatan kebijakan.
Mit
Ghamr Bank
Rintisan perbankan syariah mulai berdiri
di Mesir pada decade 1960-an dan beropersi sebagai rural-social bank (semacam
lembaga keuangan unit desa di Indonesia) di sepanjang delta sungai nil. Lembaga
ini hanya beroperasi di pedesaan Mesir
dan berskala kecil, namun institusi tersebut mampu menjadi pemicu yang sangat
berarti bagi perkembangan system financial dan ekonomi.
Perkembangan Bank-Bank Syariah di Beberapa Negara
1.
Pakistan
Merupakan pelopor di bidang perbankan syariah. Pada awal Juli
1979, sistem bunga di hapuskan dari tiga institusi: National Investment, House
Building Finance Corporation, dan Mutual Funds of the Investment Corporation of
Pakistan. Awal tahun 1985, seluruh sistem perbankan dikonversi dengan sistem
perbankan syariah
2.
Mesir
Bank syariah yang pertama kali berdiri
adalah Faisal Islamic Bank. Selain ini, terdapat bank lain yaitu Islamic
International Bank for Investment and Development yang beroperasi dengan
menggunakan instrument keuangan Islam dan menyediakan jaringan luas. Bank ini
beroperasi baik sebagai bank investasi (investment bank), bank perdagangan
(merchant bank), maupun bank komersial (commercial bank).
3.
Kuwait
Kuwait Finance House didirikan pada
tahun 1977 dan sejak awal beroperasi dengan system tanpa bunga. Institusi ini
memiliki puluhan cabang di Kuwait dan telah menunjukkan perkembangan yang
cepat. Selama dua tahun saja, yaitu 1980 hingga 1982, dana masyarakat yang
terkumpul meningkat dari sekitar KD 149 juta menjadi KD 474. Pada akhr tahun
1985, total asset mencapai KD 803 juta dan tingkat keuntungan bersih mencapai
KD 17 juta (satu Dinar Kuwait ekuivalen dengan 4-5 dolar US)
4.
Iran
Ide pengembangan perbankan syariah di
Iran sesungguhnya bermula sesaat sejak Revolusi Iran yang dipimpin oleh
Ayatullah Khomeini pada tahun 1979, sedangkan perkembangan dalam arti baru
dimulai sejak Januari tahun 1984.
Berdasarkan undang-undang yang disetujui
pemerintah pada bulan Agustus 1983. Sebelum undang-undang tersebut dikeluarkan
sebenarnya telah terjadi transaksi sebesar lebih dari 100 miliar rial yang
diadministrasikan sesuai dengan system syariah.
Islamisasi system perbankan di Iran
ditandai dengan nasionalisai seluruh industry perbankan yang dikelompokkan
menjadi dua kelompok besar. (1) perbankan komersial, (2) lembaga pembiayaan
khusus. Dengan demikian, sejak lahirnya UU Perbankan Islam (1983), seluruh
system keuangan di Iran otomatis sesuai syariah di bawah control pemerintah.
5.
Malaysia
Tahun 1983 lahir Bank Islam Malaysia Berhard (BIMB). Bank Islam
lahir bukan karena adanya rich individual seperti di Timur Tengah. BIMB
berkembang karena pemikiran & kreativitas banker Islam dalam menciptakan
produk-produk bank berdasar syariah yang mampu berkompetisi dengan bank
konvensional sehingga nasabahnya bukan hanya kelompok muslim yang mengharamkan
bunga tetapi juga kelompok lain yang rasional.
IV.
Perbedaan antara
IDB,Bank syariah dan BPRS
Bank syariah adalah Bank
yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan dalam
kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Pembukaan Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya
di luar negeri dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia.
Dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh:
a. Warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia;
b. Warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga
negara asing dan/atau badan hukum asing secara kemitraan; atau
c. Pemerintah daerah.
Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah (BPRS) adalah Bank
Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran.
Tidak diizinkan untuk membuka Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis
kantor lainnya di luar negeri.
Hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh:
a.
Warga
negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga
negara Indonesia;
b.
Pemerintah
daerah; atau
c.
Dua
pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b.
Islamic
Development Bank (IDB) diprakarsai berdirinya dalam konferensi
Menteri-Menteri Keuangan pertama negara anggota OKI di Jeddah tanggal 18
Desember 1973.
Tujuan: mendorong pertumbuhan ekonomi
dan meningkatkan kehidupan sosial negara anggotanya serta masyarakat Muslim
sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
V.
Peraturan hukum
terkait dengan bank syariah
1.
UU
No.7 Tahun 1992
Sejak
diberlakukannya UU No.7 Tahun 1992, yang memosisikan bank Syariah sebagai
bank umum dan bank perkreditan rakyat, memberikan angin segar kepada
sebagian umat muslim yang anti-riba, yang ditandai dengan mulai beroperasinya
Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tanggal 1 Mei 1992 dengan modal awal
Rp.106.126.382.000,00.
Namun bukan
hanya itu, Tercatat bahwa bank-bank (pedesaan) Islam pertama di Indonesia
adalah BPR ”Mardatillah” (BPRMD) dan BPR “Berkah Amal Sejahtera”. Keduanya
beroperasi atas dasar hukum Islam (syariah) dan terletak di Bandung. Keduanya
mulai mengoprasikan usahanya pada tanggal 19 Agustus 1991.
Meskipun UU No.7
Tahun 1992 tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan pendirian bank
syariah atau bank bagi hasil dalam pasal-pasalnya, kebebasan yang diberikan
oleh pemerintah melalui deregulasi tersebut telah memberikan pilihan bebas
kepada masyarakat untuk merefleksikan pemahaman mereka atas maksud dan
kandungan peraturan tersebut.
2.
UU
No.10 Tahun 1998
Arah kebijakan regulasi ini dimaksudkan
agar ada peningkatan peranan bank nasional sesuai fungsinya dalam menghimpun
dan menyalurkan dana masyarakat dengan prioritas koperasi, pengusaha kecil, dan
menengah serta seluruh lapisan masyarakat tanpa diskriminasi. Karena itu, UU
No.10 Tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang No.7 Tahun 1992 hadir
untuk memberikan kesempatan meningkatkan peranan bank syariah untuk menampung
aspirasi dan kebutuhan masyarakat
Dalam pasal 6 UU No.10 Tahun 1998 ini mempertegas bahwa:
•
Pertama, Bank Umum adalah bank yang menyelesaikan kegiatan usaha
secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatan
usahanya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
•
Kedua, Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam
kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Dalam UU No.10 Tahun 1998 ini pun memberi kesempatan bagi masyarakat untuk
mendirikan bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
Syariah, termasuk pemberian kesempatan kepada BUK untuk membuka kantor
cabangnya yang khusus menyelenggarakan kegiatan berdasarkan Prinsip Syariah.
Selain itu, pemerintah juga menjabarkan apakah yang
dimaksud dengan Prinsip Syariah dalam pasal ini, yaitu terdapat dalam
pasal 1 ayat 13 UU No.10 Tahun 1998: Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian
berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan
atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai
dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil
(mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah),
prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau
pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah),
atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari
pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
.
3.
UU
No.23 Tahun 2003
UU
No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia telah menugaskan kepada BI untuk
mempersiapkan perangkat aturan dan fasilitas-fasilitas penunjang lainnya yang
mendukung kelancaran operasional bank berbasis Syariah serta penerapan dual
bank system.
4.
UU
No.21 Tahun 2008
Beberapa aspek penting dalam UU No.21 Tahun 2008:
•
Pertama, adanya kewajiban mencantumkan kata “syariah” bagi bank
syariah, kecuali bagi bank-bank syariah yang telah beroperasi sebelum
berlakunya UU No.21 Tahun 2008 (pasal 5 no.4).Bagi bank umum konvensional (BUK)
yang memiliki unit usaha syariah (UUS) diwajibkan mencantumkan nama syariah
setelah nama bank(pasal 5 no.5).
Konsekuensinya, penamaan suatu UUS pada suatu kantor cabang
BUK yang saat ini kebanyakan disingkat, misalnya Bank X Syariah Cabang
Kemayoran, maka harus di ubah menjadi Bank X Unit Usaha Syariah Cabang
Kemayoran.
•
Kedua, adanya sanksi bagi pemegang saham
pengendali yang tidak lulus fit and proper test dari BI (pasal 27).
•
Ketiga, satu-satunya pemegang fatwa syariah
adalah MUI. Karena fatwa MUI harus diterjemahkan menjadi produk
perundang-undangan (dalam hal ini Peraturan Bank Indonesia/PBI), dalam rangka
penyusunan PBI, BI membentuk komite perbankan syariah yang beranggotakan
unsur-unsur dari BI, Departemen agama, dan unsur masyarakat dengan komposisi
yang berimbang dan memiliki keahlian di bidang syariah (pasal 26).
•
Keempat, adanya definisi baru mengenai transaksi murabahah.
Dalam definisi lama disebutkan bahwa murabahah adalah
jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah dengan margin keuntungan
yang disepakati. Menurut UU No.21 Tahun 2008 disebutkan akad murabahah adalah
akad pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan
pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati.
Diubahnya kata “jual beli” dengan kata “pembiayaan”,
secara implisit UU No.21 Tahun 2008 ini ingin mengatakan bahwa transaksi
murabahah tidak termasuk transaksi yang dikenakan pajak sebagaimana yang kini
menjadi masalah bagi bank syariah.
5.
Beberapa Peraturan
Bank Indonesia mengenai Perbankan syariah
a.
PBI
No.9/19/PBI/2007 tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan
penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank syariah.
b.
PBI
No.7/35/PBI/2005 tentang perubahan atas peraturan bank Indonesia No.
6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah
c.
PBI
No.6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang melaksnakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah
VI.
Dampak pertumbuhan
bank syariah bagi perkembangan bisnis syariah lainnya
Dampak banyaknya bermunculan bank syariah di Indonesia
mulai dari bank umum, unit usaha, sampai akusisi saham, merangsang pertumbuhan
bisnis-bisnis syariah lainnya. Karena pandangan masyarakat akan bisnis syariah
lebih menguntungkan. Walaupun return
yang didapatkan lebih kecil dibanding bisnis konvensional namun bisnis syariah
tetap bertahan ditengah krisis global seperti sekarang ini. Beberapa bisnis syariah
yang mulai berkembang sekarang ini selain bank syariah diantaranya asuransi
syariah, BPRS, dan BMT. Hal ini dikarenakan pengetahuan masyarakat tentang
prinsip syariah mulai meluas, dan kepercayaan masyarakat Indonesia yang
mayoritas muslim terhadap bisnis syariah memberikan dampak positif bagi
perkembangan bisnis-bisnis syariah.
VII.
Prospek, Kendala,
dan Strategi Perkembangan Bank Syariah
·
Prospek Bank
Syari’ah
Tidak bisa dibantah,
bahwa perbankan syari’ah mempunyai potensi dan prospek yang sangat bagus untuk
dikembangkan di Indonesia . Prospek yang baik ini setidaknya ditandai oleh
empat hal ;
Pertama, Jumlah penduduk Indonesia yang mayoritas beragama
Islam merupakan pasar potensial bagi pengembangan bank syari’ah di Indonseia.
Sampai saat ini, pangsa pasar yang besar itu belum tergarap secara signifikan.
Kedua, Perkembangan lembaga pendidikan Tinggi yang
mengajarkan ekonomi syariah semakin pesat, baik S1, S2, S3 juga D3. Dalam lima
tahun ke depan akan lahir sarjana-sarjana ekonomi Islam yang memiliki
paradigma, pengetahuan dan wawasan ekonomi syariah yang komprehensif, tidak
seperti sekarang, banyak yang masih menolak ekonomi syariah karena belum
memiliki pengetahuan yang mendalam tentang ekonomi syariah.
Ketiga Bahwa fatwa MUI tentang keharaman bunga bank,
bagaimanapun akan tetap berpengaruh terhadap pertumbuhan perbankan syari’ah.
Pasca fatwa MUI tersebut, terjadi shifting dana
masyarakat dari bank konvensional ke bank syari’ah secara signifikan yang
meningkat dari bulan-bulan sebelumnya. Menurut data Bank Indonesia, dalam waktu
satu bulan pasca fatwa MUI, dana pihak ketiga yang masuk ke perbankan syari’ah
hampir Rp 1 trilyun. Fatwa ini semakin mendapat dukungan dari para sarjana
ekonomi Islam.
Keempat, Harapan kita kepada sikap pemerintah cukup besar
untuk berpihak pada kebenaran, keadilan dan kemakmuran rakyat. Political will pemerintah untuk mendukung
pengembangan perbakan syari’ah di Indonesia tinggal menunggu waktu, lama
kelamaan mereka akan sadar juga dan melihat keunggulan bank syariah. Sejumlah
PEMDA di daerah telah mendukung dan bergabung membesarkan bank-bank syariah.
Bank Indonesia pun diharapkan akan benar-benar mendukung bank yang
menguntungkan negara dan menyelamatkan negara dari kehancuran. Bank Indonesia
yang selama ini terkesan hanya mengandalkan modal dengkul dalam mengembangkan
bank syariah akan berubah dengan mengandalkan modal riil yang lebih besar.
Memang banyak peran Bank Indonesia dalam mendorong pertumbuhan bank syariah,
khususnya dalam regulasi. Namun kegiatan sosialisasi dan pencerdasan bangsa
masih relatif kecil dilaksanakan dan didukung Bank Indonesia.
Kelima, Masuknya lembaga-lembaga keuangan internasional ke
dalam jasa usaha perbankan syari’ah di Indonesia sesungguhnya merupakan
indikator bahwa usaha perbankan syari’ah di Indonesia memang prospektif dan
dipercaya oleh para investor luar negeri. Potensi dana Timur Tengah sangat
besar. Dana-dana yang selama ini ditempatkan di Amerika dan Eropa, pasca 11
September WTC, mulai ditarik oleh investor Arab untuk ditempatkan di Asia.
·
Kendala Bank
Syariah
1. Kendala-Kendala Fiqh
Adanya perbedaan
pandangan di kalangan ulama Indonesia mengenai bunga yang secara garis besar
terbagi pada tiga pendapat yaitu; halal, syubhat, dan haram. Hal ini sangat
menentukan respon masyarakat terhadap bank Syari’ah. Umar Syihab, salah seorang
ulama NU (Nahdatul Ulama) sebagai representasi ulama berpendapat bahwa bunga
bank adalah halal, didasarkan pendapatnya pada beberapa alasan. Pertama, jumlah
bunga uang yang dipungut dan diberikan oleh bank kepada nasabah jauh lebih
kecil dibandingkan dengan riba yang diberlakukan di jaman jahiliyah. Kedua,
pemungut bunga bank tidak membuat bank itu sendiri dan nasabahnya memperoleh
keuntungan besar atau sebaliknya tidak akan merasa dirugikan dengan pemberian
bunga. Ketiga, tujuan pengambilan kredit dari debitor pada jaman jahiliyah
adalah untuk konsumsi, sementara pada saat ini bertujuan produktif. Keempat,
adanya kerelaan antara kedua belah pihak yang bertransaksi sebagaimana halnya
kebolehan dalam jual-beli dengan asas kerelaan (Umar Syihab, 1996, pp. 1270).
Sementara itu Majelas Tarjih Muhammadiyah
memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank milik negara kepada
nasabahnya, atau sebaliknya selama berlaku termasuk ke dalam perkara syubhat.
Akan tetapi dari faktor tersebut, hanya menyinggung bunga bank yang diberikan
oleh bank negara, dengan menyatakan bahwa bunga yang diberikan oleh negara
diperbolehkan, karena bunga yang diberikan masih tergolong rendah, jika
dibandingkan dengan bunga pada bank swasta (Rifyal Ka’bah, 2001, pp. 63).
Nahdatul Ulama sebagai
organisasi Islam terbesar di Indonesia, di samping Muhammadiyah, memutuskan
masalah bunga bank tersebut dengan beberapa kali sidang, dengan terjadinya
polarisasi pendapat pada tiga kelompok yaitu, haram, halal, dan Syubhat. Namun,
meskipun terdapat perbedaan pandangan, Lajnah Bahsul Masa’il memutuskan bahwa yang
lebih berhati-hati adalah pendapat pertama, yakni bunga bank haram (Muhamad
Syafi’i Antonio, 1999, pp. 63).
Menurut pengamatan
penulis, kontroversial mengenai bunga bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi
juga terjadi di beberapa negara Islam seperti Mesir, Irak, dan Iran (Omar Abdul
Aziz, 1987, pp. 288-296), sehingga untuk menghadapinya perlu menggunakan
pendekatan ilmiah dan normatif untuk menyakinkan para ulama yang menghalalkan
bunga atas madarat-nya, dengan memberi bukti-bukti empiris mengenai kehancuran
yang mengancam perekonomian Negara-negara sedang Berkembang karena praktek
bunga yang ditawarkan oleh perbankan konvensional, dan alasan-alasan yang
menjadi dasar untuk menghalalkan bunga tidak benar secara empiris.
Hal lain yang perlu
diperhatikan oleh perbankan Syari’ah di Indonesia bahwa tingkat profit dan loss
sharing yang ditawarkan masih terlalu rendah dibandingkan dengan tingkat suku
bunga, dan kalau kita amati perbankan Syari’ah yang beroperasi di beberapa
negara Islam dan non Islam bisa dilihat bahwa tingkat profit dan loss sharing
yang ditawarkan lebih tinggi dari tingkat suku bunga hingga perbankan Syari’ah
menjadi lebih menarik bagi para nasabah non Muslim. Masalah ini bisa menghambat
perkembangan perbankan Syari’ah di Indonesia dan membuat nasabah cenderung
memilih perbankan konvensional.
2.
Problem Hukum
Kendala hukum yang
dialami perbankan syariah di Indonesia ialah, Pengadilan Negeri tidak
menggunakan syari’ah sebagai landasan hukum bagi penyelesaian perkara,
sedangkan wewenang Pengadilan Agama telah dibatasi UU No. 7 Tahun 1989.
Institusi ini hanya dapat memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang
menyangkut perkawinan, warisan, waqaf, hibah, dan sedekah. Pengadilan Agama tidak
dapat memeriksa perkara-perkara di luar kelima bidang tersebut. Berdasarkan
latar belakang di atas, kepentingan untuk membentuk lembaga permanen yang
berfungsi untuk menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa perdata di antara
bank-bank Syari’ah dengan para nasabah sudah sangat mendesak, maka didirikan
suatu lembaga yang mengatur hukum materi dan/atau berdasarkan prinsip syari’ah.
3. Rendahnya
Sosialisasi Perbankan Syari’ah
Isu sentral yang sering kita dengar adalah bahwa pemahaman masyarakat
mengenai sistem, prinsip pelayanan dan produk perbankan yang berdasarkan
syari’ah Islam sebagian besar masih kurang tepat. Hal demikian bukan hanya
terdapat pada masyarakat awam, tetapi juga terjadi pada diri Ulama, Kyai dan
Para tokoh masyarakat lainnya. Meskipun sistem ekonomi Islam telah jelas dan
mudah dipahami, yaitu melarang menggandakan uang secara tidak produktif dan
konsentrasi kekayaan pada satu pihak dan secara tidak adil. Namun secara
praktis bentuk produk dan pelayanan jasa, prinsip-prinsip dasar hubungan antara
bank dengan nasabah, serta cara-cara berusaha yang halal dalam bank Syari’ah
masih terasa awam dan belum dipahami secara benar (Bank Indonesia, Oktober
2001, pp. 6).
Kesan umum yang ditangkap oleh
masyarakat tentang bank Syari’ah: 1) bank Syari’ah identik dengan bank dengan
sistem bagi hasil, 2) Bank Syari’ah adalah bank yang Islami, sebagian
masyarakat ada yang menyatakan bahwa bank Syari’ah secara eksklusif hanya
khusus untuk umat Islam.
Menurut penulis bahwa kegiatan sosialisasi perbankan Syari’ah amat
diperlukan dalam rangka penyebarluasan informasi dan meningkatkan pemahaman
masyarakat mengenai perbankan Syari’ah. Hal ini dapat dilakukan secara
terus-menerus dengan cara tatap muka dengan para bankir, alim ulama, pemuka
masyarakat, pengusaha, akademisi dan masyarakat secara umum. Di masa mendatang
bentuk kegiatan sosialisasi diharapkan dapat lebih beragam dengan menggunakan
berbagai media massa dan bekerja sama dengan pihak-pihak yang memiliki akses
kepada masyarakat luas.
4. Kendala-kendala Operasional
1. Kurangnya SDM dan Keahlian: kendala di
bidang sumber daya manusia dalam pengembangan perbankan Syari’ah antara lain disebabkan
oleh karena sistem perbankan Syari’ah masih belum lama dikembangkan di
Indonesia. Di samping itu lembaga akademi dan pelatihan di bidang ini masih
terbatas, sehingga tenaga terdidik dan pengalaman di bidang perbankan Syari’ah
baik dari sisi bank pelaksana maupun dari bank sentral masih terasa kurang.
(Bank Indonesia, Oktober 2001, pp. 7)
Menurut penulis, faktor ini
yang menyebabkan nasabah perbankan Syari’ah seringkali pindah ke bank lain
karena menganggap pelayanan dari pihak perbankan Syari’ah kurang profesional,
maka pengembangan SDM bidang perbankan Syari’ah menjadi hal penting karena
keberhasilan pengembangan bank Syari’ah pada level Mikro ditentukan oleh
kualitas manajemen dan tingkat pengetahuan dan ketrampilan pengelola bank.
Pengembangan SDM bisa dilakukan melalui kerjasama antara perbankan Syari’ah
dengan lembaga-lembaga pendidikan yang berada di luar maupun di Indonesia
sendiri.
2. Keterbatasan Jaringan Kantor Bank Syari’ah:
pengembangan jaringan kantor bank Syari’ah diperlukan dalam rangka perluasan
jangkauan pelayanan kepada masyarakat. Disamping itu, kurangnya jumlah bank
Syari’ah yang ada juga dapat menghambat perkembangan kerjasama diantara bank
Syari’ah. Dalam upaya pengembangan dan perluasan jaringan kantor bank Syari’ah,
ada beberapa faktor penting yang diperlukan sebagai dasar pengembangan
jaringan. Faktor-faktor tersebut meliputi skala pasar, SDM, sistem dan
teknologi, ketimpangan dalam distribusi dana, serta kegiatan ekonomi.
3.
Terjadinya Asimetri Informasi: Asimetri informasi terjadi karena bank Syari’ah
kurang transparan dengan nasabahnya karena nasabah perbankan Syari’ah
seringkali tidak mengetahui tentang kegiatan investasi yang dijalankan oleh
bank serta beberapa resiko yang terdapat dalam kegiatan tersebut, hal ini juga
bertentangan dengan kaidah-kaidah fiqh yang mewajibkan untuk memberi informasi
lengkap mengenai kegiatan usaha kepada mitra kerja/nasabah (Jamal Atia, 1988,
pp. 85).
·
Strategi
Untuk menghadapi segala tantangan
diatas, perbankan syariah menyusun beberapa strategi, diantaranya:
1.
Menetapkan target bisnis syariah tidak hanya terbatas
pada masyarakat muslim,tetapi juga masyarakat non-muslim. Hal ini dilakukan
supaya potensi pasar yang digarap semakin luas, berkembang lebih cepat, dan
memberi manfaat pada lebih banyak orang.
2.
Tidak hanya terpaku hanya pada pola pikir yang
mengedepankan masalah halal haram dan bunga-riba dalam mengenalkan bank syariah
kepada masyarakat, tetapi berusaha untuk menonjolkan hal-hal yang lebih
universal dan populer di masyarakat. Hal ini disebabkan karena sebagian besar
dari masyarakat Indonesia bukanlah syariah loyalis, tapi masyarakat rasional
yang juga memikirkan untung-rugi jika menabung atau meminjam uang di bank
syariah. Bagi masyarakat rasional, yang terpenting adalah imbal hasil yang menarik
dan keuntungan-keuntungan lainnya, seperti pelayanan yang memuaskan, teknologi
yang canggih, keamanan, jaringan yang luas, dan kemudahan akses.
3.
Pembuatan iklan dibuat sepopuler mungkin, sehingga bisa
dinikmati kalangan luas atau bukan hanya untuk umat Islam yang loyalis. Kalau
perlu, istilah-istilah yang berbau bahasa arab, seperti murabahah, mudharabah,
dan ijarah diganti dengan bahasa Indonesia seperti jual-beli untuk mengganti
murabahah, bagi hasil untuk mudharabah, atau sewa untuk ijarah. Hal ini
dikarenakan mayoritas umat muslim Indonesia masih awam dengan istilah-istilah
berbahasa arab tersebut sehingga menyulitkan mereka untuk memahaminya.
4. Melakukan inovasi dalam
mengembangan produk perbankan syariah. Jangan hanya “mensyahadatkan” produk
bank konvensional.
5. Untuk mematuhi UU Nomor
21 Tahun 2008, dimana ada kewajiban Bank untuk memisah alias spin off Unit
Usaha Shariah (USS) menjadi bank umum syariah 15 tahun sejak diberlakukannya UU
ini atau bila aset USS sudah mencapai minimal 50% dari total nilai aset bank
induk, akan memicu bank-bank memburu bank-bank yang lebih kecil untuk
dikonversi menjadi bank syariah.
6.
Perbankan Syariah harus mampu memenuhi tuntutan nasabah
kelas atas dalam hal poduk dan layanan yang prima. Produk semacam ini biasanya
disebut dengan istilah seperti wealth management, private banking, atau
privillage banking. Nasabah ini harus diperlakukan secara personal dan
istimewa. Maksudnya, layanan yang diberikan tidak hanya pada masalah transaksi
perbankan saja, tetapi juga dalam masalah nonbank seperti reservasi hotel,
pesawat, pengurusan ONH Plus bagi yang ingin naik haji, dan lain-lain. Layanan
seperti ini sangat layak untuk dikembangkan karena banyak kalangan atas yang
pemahaman agamanya baik, tetapi masih berhubungan dengan bank konvensional
lantaran pelayanannya dinilai lebih baik. Mereka bertransaksi dengan perbankan
konvensional tanpa mengambil bunga. Yang terpenting bagi mereka adalah mendapat
pelayanan prima dan bersifat pribadi.
7.
Mengusulkan kepada legislatif untuk membuat kompilasi
hukum acara bisnis syariah. Hukum bisnis yang ada sekarang berasal dari hukum
dagang Belanda. Hukum ini dibutuhkan untuk mengatasi perselisihan usaha antar
lembaga ekonomi syariah terutama perbankan. Selain itu, hukum ini juga
diperlukan untuk mengatur berbagai hal termasuk dalam hal kepemilikan dan jual
beli. Hukum ini nantinya bisa diatur oleh suatu lembaga peradilan, misalnya
peradilan agama. Lembaga ini diperluas perannya untuk mengurusi hukum perbankan
dan bisnis syariah. Meskipun demikian, ada suatu kendala dalam penyusunan hukum
ini, yaitu sifat hukum fikih yang melandasi praktik bisnis syariah yang
bersifat tidak pasti. Ada banyak penafsiran sehingga dibutuhkan banyak masukan
dari berbagai ahli ekonomi syariah. Oleh karena itu, perlu dibentuk forum hukum
bisnis syariah yang terdiri dari berbagai ahli fikih dan bisnis syariah. Tujuan
semua ini adalah supaya hukum fikih dapat dipositifkan di berbagai bidang
keuangan syariah terutama perbankan syariah
Sebenarnya masih banyak strategi
yang bisa dilakukan, akan tetapi andai saja keenam strategi diatas bisa
dijalankan dengan optimal, penulis optimis prospek perkembangan bank syariah di
tahun 2009 dan tahun berikutnya akan semakin berkembang pesat.
wow keren artikelnya, jangan lupa kunjungi juga Kebijakan Kriminalisasi di Bidang Keuangan
BalasHapus